Selebaran Larangan Menggambar


Sewaktu lalu saya melihat kebingungan para mahasiswa baru tentang beredarnya selebaran  larangan gambar manusia. mereka kebingungan.. Sebagai kampus yg mempunyai 'Label ISLAM" maka timbul pertanyaan "loh kenapa ada jurusan senirupa dikampus kita, kalau memang menggambar itu dilarang?".. itu ulah ORMAS yang masuk kedalam lingkup kampus dan menanam ideologi mereka jawabku.. Alhamdulillah kemarin saya membaca twit dari bpk kuss indarto dan menemukan artikel ini, nah teman teman jangan galau lagi!! Selamat membaca semoga bermanfaat :)

Akhmad Sahal
Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika


Pembakaran patung Arjuna di Purwakarta tak ayal memunculkan lagi pertanyaan: betulkah Islam mengharamkan patung? Apakah patung niscaya identik dengan syirik? Sebetulnya ini pertanyaan lama yang pernah dibahas oleh dua tokoh gerakan pembaruan Islam, Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).


Dalam kitabnya, Fatawa, Ridha membahas hukum lukisan dan patung dengan memeriksa sejumlah hadis yang bernada keras terhadap pembuat patung dan pembuat gambar. Misal, hadis yang bunyinya: "Sesungguhnya orang yang paling besar siksanya di hari kiamat adalah para penggambar/pematung." Di Hari Akhir, penggambar/pematung akan ditantang oleh Allah untuk memberi roh kepada karya-karyanya karena mereka telah menyaingi Tuhan. Ridha juga menelaah pandangan para ulama klasik yang mengharamkan lukisan dan patung.


Ridha lalu menyimpulkan, patung diharamkan karena diperlakukan sebagai berhala yang disembah. Selain itu, patung diharamkan agar orang-orang di kemudian hari tidak menjadikan patung sebagai sesembahan. Dasarnya adalah sadd al-dzari'ah, yakni melarang sesuatu karena dianggap bisa menjadi perantara bagi perbuatan haram.


Tapi, Ridha juga menegaskan bahwa hukum berdasar sad al-dzari'ah sifatnya tidak permanen. Sesuatu bisa dianggap sebagai perantara keharaman pada zaman dan tempat tertentu, tapi pada tempat/zaman lain tidak.


Dengan kerangka semacam itulah Ridha berpendapat bahwa keharaman patung di masa lalu tak bisa serta-merta diterapkan pada era modern. Bagi Ridha, pada masa modern, lukisan dan patung justru bisa bermanfaat untuk publik, misalnya dalam kedokteran, ilmu pengetahuan, kemiliteran, kesenian, dan sejarah. Patung tak bisa serta-merta dihukumi haram, melainkan mubah, karena tak terdapat tujuan penyembahan di situ. Bahkan tak jarang, patung dan lukisan diperlukan demi kemanfaatan publik, seperti pendidikan dan estetika.


Fatwa Ridha di atas sejalan dengan pandangan gurunya, Syaikh Muhammad Abduh, yang menulis tentang lukisan dan patung sehabis lawatannya ke Sisilia, Italia. Abduh takjub dengan orang-orang Sisilia (Al-Shiqliyyun) yang memiliki kepedulian kuat terhadap seni, khususnya patung dan lukisan. Kepedulian mereka untuk merawat patung dan lukisan mirip dengan yang dilakukan kaum muslim pada awal sejarah Islam yang menghafalkan puisi-puisi pra-Islam.


Kalau lukisan dan patung adalah "puisi yang terlihat, tapi tak terdengar," maka puisi adalah "lukisan yang terdengar, tapi tak terlihat," demikian perkataan Abduh. Sebagaimana puisi, lukisan dan patung berfungsi sebagai semacam lumbung bagi ragam ekspresi kehidupan individu dan komunitasnya. Seperti sastra, lukisan dan patung adalah diwanul hai'at wal ahwal al-basyariyyah, buku yang menampung ragam situasi dan hal ihwal manusia sekaligus menggambarkan manusia dalam berbagai situasi kejiwaan, emosi, dan kepribadiannya.


Menurut Abduh, patung dan lukisan dulu diharamkan karena dianggap menyebabkan orang lupa Tuhan (lahwun) dan menjadi obyek penyembahan. Itu terkait erat dengan tradisi paganisme masyarakat Arab pada masa itu. Patung dan lukisan saat itu menjadi sarana bagi perbuatan syirik. Implikasi logisnya, ketika alasan yang mengarah pada syirik tersebut tidak lagi ditemukan saat ini, otomatis status hukumnya berubah. Tidak lagi haram, melainkan mubah.


Tapi, bagaimana jika patung dan lukisan yang ada sekarang kembali jadi sarana/obyek sesembahan di masa depan? Untuk menghindari kemungkinan munculnya syirik di masa depan, apa tidak lebih baik lukisan dan patung dilarang saja? Menepis pertanyaan ini, Abduh pun menyitir analogi yang sarkastis: lidah punya kemungkinan untuk berbohong. Apakah karena itu lantas perlu diikat, biar tidak bisa bicara sama sekali?


Walhasil, baik Abduh maupun Ridha sama-sama mempertimbangkan perubahan ruang dan waktu dalam melihat hukum patung. Pengharaman patung di masa lalu terkait dengan tujuan pembuatannya, yakni untuk disembah. Apabila tak ada tujuan itu, otomatis keharamannya tidak berlaku.


Tentu Ridla dan Abduh menyadari adanya hadis yang mengecam patung dan lukisan. Tapi mereka berdua juga sadar, putusan hukum syar'i tidak bisa hanya berpatokan pada satu-dua hadis saja, melainkan harus juga mempertimbangkan alasan atau illah yang mendasari hukum tersebut. Ini sejalan dengan kaidah fikih Al hukmu yaduru ma'al 'illah wujudan wa 'adaman, berlaku tidaknya suatu hukum bergantung pada ada-tidaknya alasan yang mendasari hukum tersebut.


Di sini Abduh dan Ridha menawarkan suatu kontekstualisasi hukum Islam, terutama dalam urusan di luar domain ritual (ibadah murni). Bagi mereka, pemahaman kita tentang hukum Islam harus selalu diperbarui sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, dengan menjadikan kemaslahatan sebagai patokan utamanya. Dengan cara itulah Abduh dan Ridha memaknai klaim Islam sebagai shalihun li kulli zaman wa makan, relevan untuk segala waktu dan tempat.


Tanpa kontekstualisasi, Islam justru akan terpenjara oleh masa lalunya sendiri, menjadi agama yang mematung. Itulah keislaman sementara kaum muslim yang, dalam istilah Bung Karno, gagal mengambil "api dan saripati Islam" dan hanya berkutat pada abu dan ampasnya. Dan, itu ditunjukkan oleh mereka yang di hare gene getol menghancurkan patung.



Sumber : http://koran.tempo.co/konten/2016/02/17/393670/Patung-dan-Islam-yang-Mematung

Komentar

Postingan populer dari blog ini